Minggu, 01 Juni 2014

Pemanfaatan Kembali Stasiun Gambir bagi Penumpang KRL

Pemanfaatan Kembali Stasiun Gambir bagi Penumpang KRL
Andi Hendra Paluseri
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Jayabaya

Sudah hampir 2 (dua) tahun sejak Agustus 2012 lalu, KRL tidak diperbolehkan menurunkan/menaikkan penumpang di Stasiun Gambir. Alhasil, penumpukan di Stasiun Djuanda dan Stasiun Gondangdia tidak bisa dihindarkan. Alasan pihak KAI memang cukup masuk akal yaitu mengkhawatirkan bila ada penumpang KRL Jabodetabek yang tiba-tiba masuk ke kereta api antar kota tanpa punya tiket.
Sebenarnya dengan sistem pemeriksaan saat ini yang sudah cukup baik dan tambahan sanksi denda yang tinggi, sepertinya sudah dapat membuat efek jera bagi mereka yang ingin menyelinap. Sehingga kekhawatiran seperti itu seharusnya dapat diatasi. Apabila dikhawatirkan akan mengganggu pembagian waktu dengan kereta antar kota sepertinya juga tidak terlalu isu besar mengingat saat ini KRL juga biasanya berhenti sebentar saat melewati Stasiun Gambir.
krl 33333
Stasiun Gambir Sebagai Sistem Intermoda Transportasi Terpadu
Kemudahan Transportasi yang ada di Stasiun Gambir sebenarnya dimaksud untuk mewujudkan Sistem Intermoda Transportasi Terpadu (SITT) dimana saat ini di Gambir sendiri menjadi simpul antara DAMRI, Taxi, 2 Shelter Busway dan Kereta. Namun SITT Gambir saat ini hanya menjadi barang yang Mubazir karena tidak dapat dimanfaatkan dengan optimal.
Dahulu bila ada orang Bojonggede/Citayam/daerah lain yang akan ke Bandara, tinggal langsung ke Gambir kemudian menaiki DAMRI menuju Bandara. Namun saat ini, mereka harus turun di Gondangdia/Djuanda kemudian pergi ke Gambir sehingga kurang efisien dari waktu dan biaya.
Belum lagi para pekerja yang tiap harinya berkantor di  Medan Merdeka, Lapangan Banteng dan Sekitarnya, mereka harus extra sabar dan semangat untuk menuju lokasi kantor karena tidak diperbolehkan turun di Gambir. Suatu dilema bagi korporasi transportasi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Win-Win Solution
Apabila PT KAI masih mengidentifikasi train scheduling sebagai salah satu risiko yang tetap harus dimitigasi  at all cost, saya mengusulkan beberapa solusi sebagai berikut:
1. Adanya pemberian waktu-waktu tertentu bagi KRL untuk diperbolehkan menurunkan/mengambil penumpang di Stasiun Gambir.
Mungkin dapat menggunakan waktu-waktu peak pekerja sebagai waktu yang diperbolehkan misal pukul 06.00-08.00 dan 16.00-18.00. Sehingga diluar jadwal tersebut, KRL tidak boleh berhenti di Stasiun Gambir.
2. Apabila masih tidak memungkinkan, KRL diperbolehkan untuk menurunkan penumpang namun tidak diperbolehkan mengambil penumpang.
Mengingat saat ini meskipun KRL tidak diperbolehkan berhenti di Stasiun Gambir namun tetap saja sering KRL berhenti (meskipun tidak membuka pintu). Waktu penghentian tersebut dapat dimanfaatkan bagi KRL untuk menurunkan penumpang. Hal ini akan sangat membantu bagi penumpang yang akan pergi ke Bandara/lokasi lain maupun pekerja yang berangkat ke kantor di daerah Medan Merdeka dan Sekitarnya.
3. Pemindahan Stasiun Gambir ke Stasiun lain sebagai tempat pemberhentian Kereta Antar Kota sehingga Gambir dapat dimanfaatkan kembali untuk KRL.
Atau mungkin para pembaca memiliki ide lain yang lebih efektif agar Stasiun ini dapat dimanfaatkan kembali bagi para penumpang KRL? karena sayang sekali apabila sebuah infrastruktur yang sudah dibangun dengan tujuan yang besar yaitu menjadi Sistem Intermoda Transportasi Terpadu (SITT) ternyata tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya dan hanya akan memubazirkan keunggulan-keunggulan yang dimilikinya.

Jumat, 18 Oktober 2013

Apa Itu MOU?

Andi Hendra Paluseri
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Jayabaya
 
Meskipun di awal semester dua ini, ilmu hukum yang saya dapatkan masih yang bersifat non-konsentrasi seperti Hukum Lingkungan dan Mediasi namun saya mulai untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan konsentrasi yang saya inginkan yaitu Hukum Bisnis.
 
Salah satu hal yang ingin saya share berdasarkan hasil diskusi dan studi literatur kepada pembaca sekalian adalah tentang Memorandum of Understanding (MOU). Bila ditinjau dari definisinya, Munir Fuadi mengartikan bahwa MOU adalah suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti oleh dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detil. Karena itu, dalam MOU hanya berisikan hal-hal yang pokok saja [1].
 
Sebenarnya, MOU sendiri tidak dikenal dalam hukum konventional di Indonesia namun saat ini sangat sering dipraktekan karena meniru apa yang sudah sering dipraktekan secara international.
 
Apakah dengan begitu MOU tidak boleh? tentu saja boleh. Landasan yuridis yang dapat digunakan adalah Pasal 1338 KUH Perdata yang menganut asas kebebasan berkontrak dimana intinya adalah apapun yang dibuat sesuai kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang berlaku baginya sehingga mengikat kedua belah pihak kecuali jika kontrak tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku.
 
Istilah – Istilah
Selain MOU terdapat beberapa istilah-istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan bentuk perjanjian pendahuluan seperti Head of Agreement (HOA), Cooperation Agreement, Nota Kesepahaman dan istilah-istilah lainnya.
 
Istilah Head of Agreement (HOA) adalah istilah yang banyak digunakan di negara-negara Eropa. Jadi, pada dasarnya MOU dan HOA itu adalah sama yaitu merupakan bentuk Perjanjian Pendahuluan.
 
Adapun istilah agreement seperti HOA itu sendiri juga sering digunakan para lawyer karena keraguan atas kekuatan hukum apabila digunakan istilah MOU.
 
Tujuan Dibuatnya MOU
[1] Karena prospek bisnis belum jelas mutlak, maka belum bisa dipastikan apakah kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti. Untuk menghindar kesulitan dalam hal pembatalan agreement, maka dibuatlah MOU yang memang mudah untuk dibatalkan.
[2] Karena penandatanganan kontrak masih lama dan negosiasi cenderung agak alot sehingga daripada tidak ada ikatan apa-apa maka dibuatlah MOU yang akan berlaku untuk sementara waktu.
[3] Karena masing-masing pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan masih perlu waktu untuk mengkaji dalam hal menandatangani suatu kontrak yang mengikat, sehingga untuk sementara dibuatlah MOU.
 
Meskipun MOU bersifat tidak mengikat dan tidak dikenal dalam sistem hukum konvensional Indonesia namun pasal-pasal didalamnya tetap berkekuatan hukum karena KUH Perdata sebagai dasar hukum dari setiap perjanjian tidak pernah mengecualikan berlakunya hukum perjanjian terhadap suatu MOU.
 
Rujukan:
[1] Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Keempat. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002

Asas Kebebasan Berkontrak

Andi Hendra Paluseri
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Jayabaya
 
 
Dalam melakukan perjanjian/kontrak dengan pihak lain, terdapat beberapa asas-asas yang harus diketahui. Adapun asas yang akan dibahas pada kesempatan kali ini adalah asas Kebebasan Berkontrak.
 
Kebebasan Berkontrak diartikan sebagai suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk [1]:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan
 
Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud ditas meliputi bentuk dan isi dari perjanjian. Bentuk perjanjian berupa kata sepakat (konsensus) saja sebenarnya sudah cukup untuk dikatakan sebagai sebuah kontrak, dan apabila dituangkan dalam suatu akta (surat) hanyalah dimaksud sekedar sebagai alat pembuktian semata saja.
 
Adapun mengenai isi dari sebuah kontrak, para pihak pada dasarnya bebas menentukan sendiri apa yang mereka ingin tuangkan [2].
 
Namun demikian ada beberapa macam perjanjian yang hanya sah apabila dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum atau notaris dan PPAT, misalnya akta perjanjian menghibahkan saham, akta pendirian PT, dan lain lain. Agar perjanjian hibah tersebut sah, pembuat undang-undang sengaja mengharuskan dipatuhinya bentuk akta otentik guna melindungi kepentingan para pihak terhadap perbuatan buru-buru yang dapat merugikan mereka sendiri.
 
Adapun dasar hukum Kebebasan Berkontrak dapat kita temukan dalam KUH Perdata Pasal 1338 sebagai berikut:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
 
Rujukan:
[1] H.S. Salim. 2006,Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta
[2] Burton, Richard. 2003, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cetakan Kedua, Rineka Cipta, Jakarta

Senin, 30 September 2013

Penghargaan Adipura untuk Keamanan

Andi Hendra Paluseri
Mahasiswa Magister Hukum
Universitas Jayabaya
 
Tadi siang (18/5) saya baru saja menghadiri Seminar terkait Rancangan Undang Undang Keamanan Nasional yang menjadi seminar wajib untuk para mahasiswa magister UJ. Adapun pengisi dari seminar tersebut adalah Dr. Ir. Pos M.Hutabarat (Dirjen Potensi Pertahanan) dan Prof Bambang Widodo Umar. Adapun dalam pemaparan artikel kali ini lebih difokuskan pada ide yang muncul dari seminar tersebut. Idenya adalah penghargaan semacam Adipura untuk bidang Keamanan.
 
Selama dua tahun terakhir, Indonesia dikagetkan dengan menjamurnya tindakan kriminal yang dilakukan oleh sekelompok orang-orang yang mengejawantahkan dirinya sebagai “Geng Motor”. Isu ini dimulai dari Kota Kembang-Bandung yang akhirnya membuka tabir gunung es untuk Geng Motor-Geng Motor di kota lain.
 
Merebaknya tindakan-tindakan amoral tersebut di Indonesia mengindikasikan bahwa unsur Keamanan ternyata tidak menjadi prioritas di Indonesia. Keamanan yang sebenarnya merupakan kebutuhan dasar/ basic need (dalam Diagram Maslow), sangat diabaikan di Indonesia.
 
Beda halnya dengan unsur kebersihan, setiap tahunnya Pemerintah menganugerahkan penghargaan Adipura untuk Kota yang dinilai Excellent dalam menjaga dan membangun kebersihan kotanya. Dengan adanya penghargaan ini, tiap kota akan berlomba-lomba untuk terus meningkatkan taraf kebersihan kotanya.
 
Hal yang ironi bukan? dimana tiap kota berlomba-lomba dalam hal kebersihan sementara di sisi lain Basic Need yaitu keamanan tidak diperhatikan dengan baik.
 
Nah, untuk itu diusulkan kepada pemerintah untuk mendorong pemerintah daerah lebih serius dalam menjaga dan meningkatkan taraf keamanan daerahnya masing-masing dengan cara serupa yaitu Penghargaan Khusus untuk Daerah Teraman. Adapun daerah yang terkategori tidak aman dapat dikenakan punishment agar mereka lebih serius untuk mengatasi isu tersebut di daerahnya.
 
Harapannya, setiap pemerintah daerah tidak hanya fokus untuk meningkatkan Outside Spirit (Kebersihan) kotanya namun yang paling penting dan fundamental adalah peningkatan Inside Spirit-nya (Keamanan).

(Katanya) Gayus Tambunan Tidak Bersalah

Andi Hendra Paluseri
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Jayabaya
 
Beberapa pekan lalu saat membahas teori Hukum Murni di kelas, dosen saya memberitahukan bahwa Gayus sebenarnya dijerat dengan pasal Gratifikasi yang akhirnya divonis 7 tahun penjara. Gratifikasi ini merupakan salah satu kategori dari korupsi.
 
Kemudian beberapa teman pengacara dan salah seorang pegawai BPK yang akhirnya memilih keluar dari instansi tersebut memberitahukan bahwa sebenarnya apa yang dilakukan oleh Gayus Tambunan tidak melanggar apapun. Saya begitu tertarik dengan pernyataan teman-teman tersebut. Kemudian mereka memberitahukan kronologis peristiwa yang dialami oleh Gayus Tambunan sebagai berikut:
Sebuah perusahaan ternama asumsikan saja perusahaan “X” keberatan dengan penilaian pajak yang dilakukan oleh salah satu KPP terhadap perusahaan tersebut. Kesalahan penilaian ini dihitung mencapai 1.7 Trilyun.
 
Nah, perusahaan tersebut tidak mengetahui tata cara untuk mengajukan keberatan atas kesalahan perhitungan yang dilakukan oleh KPP tersebut (menurut saya bila memang ini kesalahan KPP, sepertinya Departemen Keuangan perlu melakukan pelatihan dasar perhitungan pajak bagi semua pekerjanya. 1.7 Trilyun itu bukan angka yang kecil)
 
Kemudian muncullah Gayus Tambunan. Sdr Gayus Tambunan menjadi advisor (semacam konsultan) yang memberitahukan prosedur banding terkait kesalahan perhitungan pajak tersebut. Adapun yang membawa perkara tersebut ke pengadilan banding adalah kuasa hukum perusahaan yang dimaksud. Dengan catatan, Sdr Gayus Tambunan mendapatkan komisi 20% dari nilai yang diperkarakan bila banding tersebut menang. Ternyata menang!. Nah 20% dari 1.7T itu adalah sekitar 340 milyar. Itulah komisi untuk Gayus Tambunan setelah banding tersebut berhasil.
 
Sebenarnya yang menjadi sorotan utama di masyarakat adalah mengapa Gayus Tambunan yang masih golongan 3 dengan gaji dan remunerasi yah sekitar 10 jutaan sudah dapat memiliki harta ratusan milyar rupiah. Kalau memang benar hartanya berasal dari komisi atas suksesnya Banding perkara pajak sebenarnya cukup masuk akal.
 
Akan tetapi ada beberapa hal yang menurut saya masih janggal dari penjelasan tersebut:
1. Apakah benar para akuntan-akuntan di perusahaan ‘X’ tidak mengetahui prosedur untuk Banding terkait keberatan perhitungan pajak oleh Kementrian Keuangan? Bukankah harusnya prosedur Banding tersebut dapat diketahui secara mudah dan transparan tanpa harus memberikan komisi sekitar 20% terhadap orang lain hanya untuk menginformasikan prosedurnya.
2. Apakah para petugas KPP di Indonesia memang sering asal-asalan dalam menghitung kewajiban pajak orang/badan hukum di Indonesia?. Bila memang sepertinya perlu dilakukan perbaikan sistem untuk meminimalisir hal tersebut.
 
Bila memang benar Gayus Tambunan mendapatkan uang dari komisi atas bantuannya sebagai advisor, menurut saya tidaklah salah bila dia dibebaskan karena terkategori gratifikasi-pun seharusnya tidak.

Gembel Juga Manusia

Andi Hendra Paluseri
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Jayabaya
 
Sore tadi (18/5) sehabis pelaksanaan seminar Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional, seperti biasa saya menggunakan Busway sebagai moda transportasi untuk kembali ke rumah. Halte Pramuka menjadi tempat transit yang harus saya lalui.
 
Tak jauh dari tempat tersebut, saya melihat sepasang manusia yang mulai berkelahi (pria dan wanita) sementara teman-teman yang lainnya hanya melihat. Wanita tersebut mulai menjambak si pria dan si pria membalas dengan meninju perut wanita tersebut.
 
Kejadian tersebut menjadi tontonan banyak penumpang busway termasuk petugas TransJakarta. Hanya menjadi tontonan tanpa berinisiatif untuk memisahkan mereka.
 
Saya mulai memberanikan diri untuk meminta kepada beberapa petugas TransJakarta yang saat itu berada sangat dekat dengan perkelahian tersebut untuk segera memisahkan mereka. Namun entah dinyana jawabannya adalah “Itu para gembel, udah biasa”
 
Masya Allah! Apa kalau para gembel pukul-pukulan lalu bunuh-bunuhan lalu kita sebagai orang yang diberi tanggung jawab lebih oleh Allah, hanya membiarkan saja sampai hal tersebut terjadi? Apa kita tidak dimintai pertanggungjawaban terkait ketidakacuhan kita?.
 
Mereka memang gembel, tapi mereka memiliki hak untuk hidup. Hidup dengan aman tentunya. Jakarta yang merupakan kota modern dengan seribu satu isu dan karakter seharusnya menjadi mercusuar bagi kota-kota lain dalam penanganan isu tunawisma ini.
 
Apabila mereka dibiarkan begitu saja tanpa adanya penanganan, tinggal menungggu waktu bahwa bad multiplier effect terhadap warga Jakarta lain akan terjadi.

Penting: Pengalaman Medical Check-Up

Andi Hendra Paluseri

Hari ini saya baru saja menjalani suatu proses pengecekan kesehatan secara menyeluruh yang biasa disebut Medical Check-up di rumah sakit Borromeus Bandung. Adapun kegiatan ini dilakukan sebagai proses terakhir dalam tahap penandatanganan kontrak kerja di PT. Freeport Indonesia. Sebelumnya sudah dilakukan tes administrasi, psikotest, bahasa inggris hingga interview with user.

Nah, meskipun offering contractnya sudah dibacakan, bisa saja kontrak tersebut dibatalkan bila ternyata hasil kesehatan saya tidak begitu baik. Dan ini pada kenyataannya sering terjadi, contohnya saja kasus seorang teman di tahun lalu yang tidak lulus seleksi terakhir PLN karena masalah kesehatannya yaitu tingkat kolesterol dalam tubuhnya berlebih.

Saya datang ke rumah sakit tersebut pukul 8 tepat dan pemeriksaannyapun langsung dilakukan. Namun sebelum itu, saya harus mengisi form-form administrasi yang telah pihak perusahaan sediakan. agak lama dan cukup terkejut karena di lembaran terakhir juga harus menandatangani surat pernyataan kesediaan pemeriksaan HIV/AIDS.

Setelah prosedur administrasi dijalani, tibalah saya harus mengikuti serangkaian medical check-up yang telah ditetapkan :
1. Pengukuran berat dan tinggi badan
Hasilnya berat saya 55 dengan tinggi 168,5. Agak sedikit aneh, kok saya merasa tambah pendek yah?. Bukankah kemarin hasilnya nyampe 169.5. Ah tapi sudahlah cuma 1 cm doang. Namun yang paling menyakitkan ketika si ibu dokter bilang saya terlalu kurus. Aduh, Ibu! kayak gak tau mahasiswa aja.

2. Test Urine
Sebelumnya saya diwajibkan untuk tidak makan selama 12 jam sebelum test dilakukan. Yang diperbolehkan hanya meminum air putih. Nah, ternyata urine yang saya hasilkan berbentuk bening. Karena penasaran akhirnya saya tanyakan ke dokter apakah urine bening yang sedikit kuning itu berbahaya atau tidak. Ternyata tidak, alhamdulillah. Urine bening ataupun kuning disebabkan dari apa yang kita minum, kalau kopi atau teh biasanya kuning namun kalau air bening, biasanya urinenya bening. Ah, untungnya tidak ada tes feses juga. Kalau ada sepertinya akan sedikit berabe, karena saya agak diare tadi pagi. Hehe… , oiya tujuan dari test ini adalah untuk melihat fungsi ginjal masih baik atau tidak, juga untuk melihat penyakit2 lain seperti hepatitis.

3. Test Darah
Tes yang satu ini agak menakutkan, soalnya sudah hampir berapa tahun saya tidak pernah disentuh oleh jarum suntik. Auww, auww, auww!. Tapi, pasrah sepertinya adalah hal terbaik yang harus saya lakukan. Akhirnya jarum runcing itupun menusuk kulit saya yang mulus. Ah, ternyata tidak sakit! perlahan-lahan sang perawat mengganti botol darah yang sudah terisi penuh. Sampai 3 botol Saudara.. Saudara!!. Wah, saya tidak tahu untuk apa 3 botol darah tersebut, mungkin yang pertama untuk test kandungan darahnya, kedua untuk tes HIV-nya yang ketiga untuk didonorkan (Insya Allah berkah deh :P ).
4. Test Paru-paru

Nah, di test ini saya diharuskan untuk meniup suatu alat yang berfungsi untuk mengukur kekuatan tiupan udara yang merepresentasikan kekekuatan paru-paru kita. SAYA MENGULANGNYA SAMPAI BELASAN KALI dan hasilnya tetap saja rendah cuma 68 dari rata-rata 80. Wuahhhh, paru-paru saya agak kurang normal ini. Mamaaaaaaa………… Perjuangan yang sangat panjangpun dilakukan, beberapa jam kemudian setelah test yang terakhir, saya membujuk-bujuk bu dokter untuk diijinkan mengulang kembali test paru-paru ini dan alhamdulillah hasilnya 71. Biasanya kalau sudah 70-an, PTFI sudah bisa menerima hasil tes kesehatan tanpa harus diulang. Nah! saran bagi para pembaca, sebelum medical check-up untuk masuk di perusahaan apapun, berhentilah merokok. Yah barang seminggu, dua minggu sebelum medical check-up ini dilakukan. Agar hasil tiupan anda lebih kencang. Oiya, buat yang bukan perokok (seperti saya) hindari berdekatan dengan perokok aktif karena akan turut mempengaruhi kekuatan paru-paru anda. nah, nasehat saya lagi adalah jangan lupa berolahraga terutama menjelang medical check up ini dilakukan.

5. Test Rontgen
Di test ini, tubuh bagian dalam kita akan dilihat dengan menggunakan sinar rontgen. Saya disuruh telanjang dada lalu menghadap dan mendekatkan tubuh ke alat tersebut. Saat akan dirontgen, saya harus menarik nafas dan menahannya. Lalu difotolah. Hasilnya ada semacam bulatan di perut sebelah kanan saya, apakah itu? dan perawatnyapun tidak mau memberitahukan artinya kepada saya. Yah berdoa saja hasil rontgen kali ini baik. Dan semoga bulatan itu bukan merupakan rahim yang ada pada diri saya hehe :P .

6. Test Mata/Penglihatan
Di test ini, saya dijejali dengan test-test penglihatan dimulai dari mata kanan dan mata kiri. Dari hasil yang saya berikan, sepertinya ada sedikit kesalahan di mata kiri saya. Yah sudahlah, kecil juga. Lalu, masih di test mata, saya ditunjukkan angka-angka yang dirangkai dari beberapa warna. Yah, benar! ini adalah test buta warna.
7. Pengukuran Tekanan darah
Hasilnya cukup baik, kalau tidak salah 110/80. Kata dokternya sih cukup baik untuk seumuran saya.

8. Test Hidung/Penciuman
Si ibu perawat menyuruh saya menutup mata dan menyuruh saya untuk menebaknya. Nah, untuk barang yang pertama adalah benda yang sering saya cium. Tapi kok agak lupa namanya apa yah. Saya tebak lem, si ibu perawat bilang salah. Dikasih klu, kalau itu adalah barang yang sering di rumah sakit. Saya juga tidak punya ide karena lem juga sering ada di rumah sakit. Oh, tak dinyana ternyata benda tersebut adalah alkohol. Hush!. Nah, benda yang kedua saya berhasil menebaknya dengan baik. Benda tersebut adalah kopi.
9. Test Umum
Disini sang dokter menyuruh saya berbaring di tempat pembaringan eh salah di tempat tidur ding :P . Beliau memeriksa hidung, telinga dan mulut saya. Wah, ketahuan deh kalau gigi saya ada yang rusak 1 buah. Kemudian si Ibu menuju ke bagian bawah tubuh saya, agak ke tengah. Sambil menekan-nekan perut saya, beliau menanyakan apakah ada riwayat asma pada diri saya. Dengan lantang dan tegas bergaya sersan dua saya katakan TIDAK ADA BU!. Hehe… Lalu ada test yang lebih unik lagi masih di test umum ini, si Ibu menyuruh saya untuk membuka celana. Aduh, malu ibu!. Dengan patuh saya buka celana saya dan ibu itupun shock bukan main, karena ternyata dia hanya menyuruh untuk membuka celana sampai bokong bukan seutuhnya, untung celana dalam masih melekat di tubuh saya :P . Sambil bergolek ke samping, saya merasakan ada sentuhan jari yang masuk ke anus saya. Haduh, geli bukan main. Setelah selesai, sang dokter memberitahukan bahwa itu untuk mengetes apakah saya ambeien atau tidak.

10. Test Telinga/Pendengaran
Di test ini, saya diberikan earphone dan tombol yang berbentuk mikrofon tapi untuk ditekan. Saya kira, perawat tersebut berkeinginan untuk mendengarkan suara saya yang indah dan merdu ini. Ternyata tombol tersebut digunakan sebagai tanda bahwa saya mendengar suara yang keluar dari earphone.

Ok, 10 test diatas adalah test yang saya lakukan selama medical check-up sebagai kelengkapan sebelum ke Tembagapura juli ini. Bagaimana? sangat komplit kan? yah, itung-itung pengecekan kesehatan gratis yang pertama kali saya lakukan secara lengkap seperti ini.