Jumat, 18 Oktober 2013

Apa Itu MOU?

Andi Hendra Paluseri
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Jayabaya
 
Meskipun di awal semester dua ini, ilmu hukum yang saya dapatkan masih yang bersifat non-konsentrasi seperti Hukum Lingkungan dan Mediasi namun saya mulai untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan konsentrasi yang saya inginkan yaitu Hukum Bisnis.
 
Salah satu hal yang ingin saya share berdasarkan hasil diskusi dan studi literatur kepada pembaca sekalian adalah tentang Memorandum of Understanding (MOU). Bila ditinjau dari definisinya, Munir Fuadi mengartikan bahwa MOU adalah suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti oleh dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detil. Karena itu, dalam MOU hanya berisikan hal-hal yang pokok saja [1].
 
Sebenarnya, MOU sendiri tidak dikenal dalam hukum konventional di Indonesia namun saat ini sangat sering dipraktekan karena meniru apa yang sudah sering dipraktekan secara international.
 
Apakah dengan begitu MOU tidak boleh? tentu saja boleh. Landasan yuridis yang dapat digunakan adalah Pasal 1338 KUH Perdata yang menganut asas kebebasan berkontrak dimana intinya adalah apapun yang dibuat sesuai kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang berlaku baginya sehingga mengikat kedua belah pihak kecuali jika kontrak tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku.
 
Istilah – Istilah
Selain MOU terdapat beberapa istilah-istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan bentuk perjanjian pendahuluan seperti Head of Agreement (HOA), Cooperation Agreement, Nota Kesepahaman dan istilah-istilah lainnya.
 
Istilah Head of Agreement (HOA) adalah istilah yang banyak digunakan di negara-negara Eropa. Jadi, pada dasarnya MOU dan HOA itu adalah sama yaitu merupakan bentuk Perjanjian Pendahuluan.
 
Adapun istilah agreement seperti HOA itu sendiri juga sering digunakan para lawyer karena keraguan atas kekuatan hukum apabila digunakan istilah MOU.
 
Tujuan Dibuatnya MOU
[1] Karena prospek bisnis belum jelas mutlak, maka belum bisa dipastikan apakah kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti. Untuk menghindar kesulitan dalam hal pembatalan agreement, maka dibuatlah MOU yang memang mudah untuk dibatalkan.
[2] Karena penandatanganan kontrak masih lama dan negosiasi cenderung agak alot sehingga daripada tidak ada ikatan apa-apa maka dibuatlah MOU yang akan berlaku untuk sementara waktu.
[3] Karena masing-masing pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan masih perlu waktu untuk mengkaji dalam hal menandatangani suatu kontrak yang mengikat, sehingga untuk sementara dibuatlah MOU.
 
Meskipun MOU bersifat tidak mengikat dan tidak dikenal dalam sistem hukum konvensional Indonesia namun pasal-pasal didalamnya tetap berkekuatan hukum karena KUH Perdata sebagai dasar hukum dari setiap perjanjian tidak pernah mengecualikan berlakunya hukum perjanjian terhadap suatu MOU.
 
Rujukan:
[1] Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Keempat. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002

Asas Kebebasan Berkontrak

Andi Hendra Paluseri
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Jayabaya
 
 
Dalam melakukan perjanjian/kontrak dengan pihak lain, terdapat beberapa asas-asas yang harus diketahui. Adapun asas yang akan dibahas pada kesempatan kali ini adalah asas Kebebasan Berkontrak.
 
Kebebasan Berkontrak diartikan sebagai suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk [1]:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan
 
Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud ditas meliputi bentuk dan isi dari perjanjian. Bentuk perjanjian berupa kata sepakat (konsensus) saja sebenarnya sudah cukup untuk dikatakan sebagai sebuah kontrak, dan apabila dituangkan dalam suatu akta (surat) hanyalah dimaksud sekedar sebagai alat pembuktian semata saja.
 
Adapun mengenai isi dari sebuah kontrak, para pihak pada dasarnya bebas menentukan sendiri apa yang mereka ingin tuangkan [2].
 
Namun demikian ada beberapa macam perjanjian yang hanya sah apabila dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum atau notaris dan PPAT, misalnya akta perjanjian menghibahkan saham, akta pendirian PT, dan lain lain. Agar perjanjian hibah tersebut sah, pembuat undang-undang sengaja mengharuskan dipatuhinya bentuk akta otentik guna melindungi kepentingan para pihak terhadap perbuatan buru-buru yang dapat merugikan mereka sendiri.
 
Adapun dasar hukum Kebebasan Berkontrak dapat kita temukan dalam KUH Perdata Pasal 1338 sebagai berikut:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
 
Rujukan:
[1] H.S. Salim. 2006,Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta
[2] Burton, Richard. 2003, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cetakan Kedua, Rineka Cipta, Jakarta